Selasa, 02 Juni 2015

Pantai Cakang Galang Baru

Hari itu tanggal 31 Mei 2015,jam 10 pagi kurang 15 menit. Cuaca sudah begitu panas dan mentaripun sudah bersinar dengan terik, sesuai rencana kami sebelumnya, tepat jam 10 kami sekeluarga mau berangkat jalan jalan ke pantai. Pantai mana sebenarnya belum pasti yang jelas arah barelang lah bukan nongsa. Karena di batam pantai itu identik arah ke barelang atau ke arah nongsa sana, ada juga yang lain arah sekupang yaitu pantai Tanjung Pinggir. Setelah yakin pintu dan jendela telah terkunci semua, kami pun dengan penuh semangat tancap gas motor honda beat biru putih kesayangan menuju TKP. Tak lupa mampir dulu ke spbu terdekat untuk isi minyak full tank biar tak khawatir kehabisan minyak di jalan. Oke... singkat kata singkat cerita kami pun tiba di jembatan 1 barelang, niat berhenti sejenak muncul di benak ini. Maklum,jembatan barelang adalah salah satu tempat yang menjadi ikon kota batam yang menawarkan pemandangan yang elok dan menawan di kota batam. Namun niat ini kami urungkan nanti mampir kalau perjalanan pulang saja dalam hatiku. Pulau batam berlalu, pulau Tonton, Nipah, Setokok, semua lewat. Ketika memasuki Pulau Rempang sempat terbersit keinginan untuk menghentikan laju motor dan merapat ke pantai melayu. Tapi ah... tanggung , mending ke pulau Galang sekalian. Disana banyak pantai juga, cantik caktik lagi pantainya. Ada pantai Mirota, pantai Melur, dan obyek wisata Kampung Vietnam yang terkenal itu. Akhirnya ...jadi deh kami putuskan untuk untuk meluncur ke pulau yang menjadi destinasi wisata terujung di kota batam. Dialah pantai Cakang di pulau Galang Baru.Tapi orang biasa menyebutnya pulau Barelang ujung atau Pulau Ujung. Sebelum tiba di lokasi, disepanjang jalan kami disuguhi pemandangan yang sungguh sungguh indah dan kami pun sesekali menyempatkan diri untuk berfoto foto ria.


Satu setengah jam berlalu, kami pun tiba di lokasi. Di pulau galang baru yang “hanya” berjarak 100 km pusat kota itu memang menawarkan keindahan alam yang mempesona. Berbeda dengan pantai pantai pada umumnya yang banyak menghadirkan hamparan pasir putih yang luas membentang, pantai cakang banyak didominasi hamparan batu karang. Gugusan batu karang yang menyembul di sepanjang pantai tak sedikitpun mengurangi keindahan dan niat untuk menjelajahh obyek wisata pantai tersebut. Jika anda mengajak si buah hati tak perlu risau, karena area pantai berpasir juga tetap ada jadi kalau tak usah khawatir kawan .

Kalau anda hobi memancing jangan ragu untuk membawa joran anda, karena disana anda tidak akan sendirian. Anda akan ditemani atau menemani para mancing mania yang sudah terlebih dahulu berada disana berbaris rapi di sepanjang pantai berkarang itu.

Soal kejernihan airnya tak perlu diragukan lagi, namanya juga pantai karang, beda dengan pantai yang berlumpur yang bikin air keruh. Sampah sampah pun tak nampak berserak di pantai, entah karena lokasinya di ujung daratan sehingga jauh dari pemukiman warga atau memang kesadaran pengunjung yang tidak membuang sampah sembarangan. Yang jelas enaklah kalau kesana. Air laut jernih cocok buat mandi, ikan banyak cocok buat kita mancing, dan sensasi perjalanan yang luar biasa.

Pantai Melur dan Batalyon Infanteri 10 Marinir "Satria Bhumi Yudha"

Pulau Galang merupakan bagian dari wilayah kota batam. Pulau ini sejak terkenal karena adanya tempat penampungan pengungsi Vietnam yang terpaksa kabur dari negaranya karena konflik berkepanjangan yang terjadi di negaranya. Mereka disebut manusia perahu yang terkatung katung di lautan hingga akhirnya terdampar dan ditampung sementara di Pulau Galang tepatnya di sebuah desa bernama Sijantung,tempat itulah yang kini dikenal dengan nama kampung vietnam. Wisata kampung vietnam memang terkenal dan banyak dikunjungi oleh para turis baik lokal maupun mancanegara, dan tak jauh dari situ ada sebuah obyek wisata pantai yang sangat indah dan menjadi salah satu andalan kota batam. Namanya pantai Melur. Banyak wisatawan yang tertarik mendatangi lokasi ini karena keindahan dan kebersihan pantainya. Sepanjang mata Anda memandang, luasnya hamparan pasir putih tersaji, dan nikmati juga angin sepoi-sepoi yang memanjakan waktu santai Anda. Tidak hanya itu, pepohonan yang ada di Pantai Melur juga semakin menambah eksotisnya pantai itu. Sungguh teduh...namun sayang sepertinya kini makin sempit saja lokasinya. Di bagian selatan nampak ada tali pembatas yang di gunakan sebagai sekat oleh sang pemilik seolah olah itu telah menjadi pantai pribadi masyarakat umum tak bisa lagi memasukinya. Tapi ini sedikitpun takkan mengurangi kesenangan kami.
Kami berangkat dari rumah masing masing dan kumpul di jembatan 1. Sambil nunggu yang lain kumpul, seperti boasa dan seperti sudah menjadi tradisi, setiap ingin mengunjungi pulau pulau di luar pulau batam via darat, pasti orang akan menyempatkan diri berhenti sejenak di Jembatan Barelang 1 untuk santai sejenak atau sambil berfoto. Seperti kami ini juga.

Sehabis itu lanjut lagi perjalanan menuju ke TKP. Awalnya kami hanya hanya bertujuh dengan mengendarai empat motor. Namun menyusul kawan kami yang lain. Wah rame banget jadinya. Aktifitas pertama ya.. duduk santai sambil makan gorengan sekalian nunggu adzan dhuhur berkumandang. Kalau dah sholat kan jadi tenang gak buru buru.


Habis itu santap makan siap bekal yang dibawa masing masing. Kebanyakan pada bawa nasi padang tapi khusus kami berdua menunya nasi pecel spesial. Hemmm...yummi...


Siap itu let's go kita mandi...

Tak terasa waktu sudah hampir sore, kami pun akhirnya memutuskan untuk menyudahi petualangan kami hari ini. Sambil perjalanan pulang kami pun menyempatkan diri untuk berfoto sejenak di Pangkalan Militer Batalyon Infanteri 10 Marinir Satria Bhumi Yudha, di Pulau Setokok dan Pantai Dendang Melayu

Senin, 01 Juni 2015

Kampung Vietnam

Perang Vietnam yang berlangsung tahun 1955-1975 membawa banyak korban berjatuhan dan pengungsi dengan jumlah yang tidak sedikit. Banyak dari mereka yang mengungsi ke Pulau Galang di Kepulauan Riau. Berikut kisahnya. Ketika masih di Sekolah, saya banyak mendengar dan belajar sejarah tentang ratusan ribu pengungsi Vietnam Selatan yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain pasca perang di Vietnam. Saat peristiwa itu terjadi, banyak pengungsi meninggalkan negaranya dengan perahu-perahu dengan kondisi memprihatinkan. Satu perahu bisa diisi 40-100 orang. Berbulan-bulan para pengungsi ini terombang-ambing di tengah perairan Laut China Selatan, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan, ada yang terdampar di pulau karang tanpa bahan makanan, dan ada sebagian lagi dapat mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia, seperti Pulau Galang, Tanjung Pinang, Kepulauan Natuna dan pulau-pulau di kepulauan Riau. Karena banyak cerita mengenai para pengungsi ini, bahkan ada yang difilmkan, bagaimana penderitaan para pengungsi itu untuk bertahan hidup selama pengungsian, bahkan di tempat penampungan. Maka sayapun terdorong ingin mengunjungi pulau Galang, di Provinsi Kepulaun Riau, di mana terdapat tempat penampungan sementara bagi para pengungsi tersebut. UNHCR dan Pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas di sana, seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah, bahkan penjara, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000 pengungsi. Para pengungsi ini dikonsentrasikan di satu permukiman seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan keamanan. Juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal dengan Vietnam Rose. Di tempat ini, para pengungsi meneruskan hidupnya sepanjang tahun 1979-1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka dari negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam. Ketika saya dan teman saya sampai di bandara Hang Nadim, Batam, kami menyewa taksi untuk meneruskan perjalanan menuju Pulau Galang. Jarak Pulau Galang dari kota Batam sekitar 50 km yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam. Dalam perjalanan menuju pulau Galang, kami melewati jembatan Barelang, jembatan penghubung pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau Galang. Jembatan megah ini diprakarsai oleh BJ. Habibie. Sesampai kami di sana, suasana sepi menyambut kami, dengan bangunan-bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Setelah kami melewati pintu gerbang, kemudian menyusuri jalan aspal dengan kanan kiri terdapat tanda pengenal jalan dan nama tempat, dan kami pun sampai di sebuah taman yang terdapat sebuah patung, Patung Taman Humanity atau Patung Kemanusiaan. Ada pun cerita mengenai patung ini menggambarkan sosok wanita yang bernama Tinhn Han Loai yang diperkosa oleh sesama pengungsi. Karena malu menanggung beban diperkosa, akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Dalam rangka mengenang peristiwa tragis itulah maka patung ini dibuat oleh para pengungsi. Melanjutkan perjalanan, tidak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave. Di sini, dimakamkan 503 pengungsi Vietnam yang meninggal karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu, depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah. Suasana yang sepi di areal pemakaman cukup membuat bergidik juga, untung saya tidak sendirian. Setelah melewati areal pemakaman, kami sampai di Monumen Perahu yang terdiri atas tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan Vietnam. Dengan perahu seperti itulah mereka berbulan-bulan mengarungi lautan hingga sampai di pulau Galang ataupun pulau-pulau lainnya di sekitar Kepulauan Riau. Ada pun perahu-perahu ini adalah perahu-perahu yang diangkat ke daratan dan direnovasi, ada juga perahu-perahu itu yang sengaja ditenggelamkan dan bahkan ada yang dibakar oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi, karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan, atau suaka dari negara negara lain seperti Australia, Perancis, Amerika Serikat dan negara lainnya. Setelah dari monumen perahu, kami melanjutkan perjalanan melewati bangunan-bangunan bekas tempat tinggal yang masih tersisa di tempat pengungsian ini. Rasa sedih memenuhi ketika melihat peninggalan yang bersejarah ini, kini tidak begitu terawat, banyak semak belukar, bahkan banyak bangunan yang sudah rusak. Saya membayangkan pada masa itu, tempat ini ramai dengan pengungsi, bagaikan sebuah kampung kecil. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kehidupan para pengungsi di kamp ini kita dapat mengunjungi museum yang masih menyimpan berbagai peralatan sehari-hari, foto-foto para pengungsi dan juga foto-foto kegiatan yang mereka lakukan. Selain itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga mushola. Tempat-tempat ibadah ini pun tidak jauh berbeda kondisinya dengan bangunan lain yang sudah tidak terawat dan rusak. Hanya Vihara Quan Am TU yang masih terlihat terawat dan masih digunakan. Vihara Quan Am TU merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di area itu. Cat bangunan yang berwarna-warni membuat pengunjung dapat mengenalinya dari kejauhan. Ketika akan masuk ke areal Gereja Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, kita membaca sebuah papan nama gereja serta terdapat juga tulisan 'Galang, Memory of a tragedy past', suatu pesan yang dalam dari tragedi kemanusiaan akibat perang. Sebuah renungan kepedihan betapa akibat dari perang adalah penderitaan bagi sebagian besar rakyat yang menjadi korban, keluarga-keluarga terpisah, anak-anak yang harus di adopsi oleh keluarga dari negara lain. Bahkan beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah email dari seorang wanita Vietnam yang tinggal di Amerika, yang menanyakan alamat dan bagaimana cara menuju ke tempat pengungsian di Pulau Galang. Dia ingin berziarah mengunjungi tempat di mana dia pernah tinggal ketika masih kecil, sebelum akhirnya diadopsi oleh keluarga dari Amerika. http://travel.detik.com/read/2015/01/25/123000/2794553/1025/kisah-sedih-kamp-pengungsi-vietnam-yang-terbengkalai-di-pulau-galang Kampung Vietnam seluas 80 hektar di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, sejatinya bukan hanya bekas lokasi penampungan ribuan pengungsi asal Vietnam selama lebih kurang 16 tahun pada 1979-1995. Keberadaannya beserta berbagai peninggalannya layak dicatat sebagai monumen kemanusiaan bangsa Indonesia. Frans Sarong Kisahnya berawal dari pergolakan politik yang melanda Vietnam tahun 1970-an. Pergolakan kian memanas sehingga pecah perang saudara antara kelompok masyarakat bagian selatan dan kelompok masyarakat bagian utara negara itu. Karena kondisi semakin tidak menentu dan kian mencekam, ribuan warga bagian selatan Vietnam lalu memilih meninggalkan negerinya. Dengan hanya menggunakan kapal kayu, mereka yang juga disebut sebagai manusia perahu pergi mencari kedamaian atau suaka politik ke sejumlah negara di sekitarnya, termasuk Indonesia. Khusus perjuangan mencari kedamaian hingga ke Indonesia, mereka nekat mengarungi Laut Tiongkok Selatan yang dikenal ganas. Setelah melewati pelayaran selama berbulan-bulan, perahu pertama berpenumpang 75 pengungsi akhirnya tiba di Indonesia, persisnya di Natuna, Kepulauan Riau, 22 Mei 1975. "Kehadiran pengungsi asal Vietnam di Natuna sekitar 40 tahun lalu itu serentak menjadi pemberitaan meluas. Bahkan, Presiden Soeharto melalui menterinya ketika itu langsung memerintahkan instansi terkait memberikan perhatian berupa bantuan kemanusiaan sepantasnya bagi para pengungsi," tutur Zaid Adnan, Kepala Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang, di Kampung Vietnam, Minggu (8/2). Pemberitaan itu ternyata menjadi panduan bagi ribuan pengungsi lain mengikuti jejak pendahulunya ke Natuna. Karena jumlah pengungsi terus bertambah, sementara pengamanan semakin menjadi beban tidak ringan lantaran daya tampung kian terbatas, Presiden Soeharto ketika itu mulai mempertimbangkan untuk memindahkan para pengungsi ke daerah aman, yakni kawasan yang benar-benar tertutup dari kemungkinan berinteraksi dengan warga lokal. Setelah mendiskusikannya dengan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), dicapai kesepakatan memindahkan para pengungsi ke Pulau Galang, tepatnya di Desa Cijantung, tahun 1979. Setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto, UNHCR lalu membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan pengungsi. "Dana seluruhnya dari UNHCR, pengerjaan pembangunannya melibatkan pengusaha lokal," ungkap H Syukur, anggota staf Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang. Keberadaan kawasan penampungan itu justru membuat pengungsi manusia perahu dari Vietnam terus berdatangan. "Jumlah puncaknya sempat mencapai 250.000 jiwa. Mereka semua ditempatkan dalam kawasan kamp secara terisolasi atau sama sekali tertutup kemungkinan berhubungan dengan masyarakat luar di sekitarnya," kata Zaid. Dalam perjalanannya, para pengungsi perlahan diberangkatkan ke sejumlah negara lain yang merelakan fasilitas suaka politik melalui PBB. Sebagian lain belakangan dipulangkan ke Vietnam menyusul kondisi negara asal mereka yang berangsur pulih. Menurut catatan Zaid, pemulangan terakhir ke Vietnam terjadi tahun 1995, meliputi 4.750 pengungsi. "Suasana kepulangan para pengungsi terakhir itu tanpa rasa ragu karena langsung dijemput oleh sejumlah pejabat dari Vietnam," ujarnya. Jejak tertinggal Walaupun nama Kampung Vietnam tetap melekat, di lokasi yang kini menjadi kawasan hening, hijau, dan terjaga itu sesungguhnya tidak ada lagi pengungsi yang tersisa. Jejak yang tertinggal di antaranya lokasi pekuburan berisi 563 makam serta bangunan rumah ibadah, seperti mushala, wihara, dan gereja (Katolik dan Kristen Protestan). Selain itu, ada sejumlah bangunan yang tidak lagi terawat, yakni bekas kamp bagi para pengungsi untuk berteduh. Ada pula bangunan bernama Humanity Statue, yakni monumen kemanusiaan berupa patung perempuan dalam keadaan tak berdaya. Konon monumen itu khusus untuk mengenang tragedi yang menimpa seorang perempuan pengungsi bernama Tinh Han Loai. Ia memilih bunuh diri karena tak kuat menanggung malu setelah diperkosa sejumlah pria sesama pengungsi. Setelah Kampung Vietnam tidak lagi menyisakan warga pengungsi, PBB melalui UNHCR mengembalikan kawasan itu kepada Pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Badan Otorita Batam membenahi kawasan itu, antara lain melengkapinya dengan museum khusus tersebut. Di sekitarnya juga terpajang dua perahu sebagai monumen khusus untuk mengenang perjuangan para pengungsi mengarungi lautan demi kedamaian hingga ke Indonesia. Kini, Kampung Vietnam-sekitar 60 kilometer dari Batam-dipasarkan sebagai obyek wisata sejarah andalan Batam, bahkan Kepulauan Riau. Khusus pada hari raya atau hari libur, pengunjungnya bisa mencapai 4.000 orang hingga 5.000 orang. Tidak sedikit dari para wisatawan itu eks pengungsi atau keluarganya yang kini sudah berhasil dan menyebar di sejumlah negara. Kunjungan mereka terutama ke lokasi pemakaman. Rusli (38), pengunjung asal Jakarta, melukiskan, belum ke Batam jika tidak menyempatkan diri berkunjung ke Kampung Vietnam. "Obyek wisata ini layak dijaga kelestariannya karena merupakan jejak sejarah kemanusiaan Indonesia," ujar Rusli ketika bersama keluarganya menjelajahi kawasan Kampung Vietnam. Rusli dan Zaid benar, bekas kamp pengungsi itu merupakan monumen kemanusiaan bangsa Indonesia! http://print.kompas.com/baca/2015/02/28-(1)/Kampung-Vietnam%2c-Monumen-Kemanusiaan-Indonesia

Pantai Mirota

Salah satu tempat wisata pantai yang layak diperhitungkan untuk dikunjungi di batam adalah Pantai Mirota yang terletak di Pulau Galang. Walaupun terpisah jauh dari pulau Batam, Pulau Galang masih termasuk wilayah dari Kota Batam. Bibir pantainya terdiri dari pasir putih namun ada juga beberapa sudut yang terdiri bongkahan batu karang jadi terserah kita mau meikmati sensasi yang mana. Kalau anak anak biasanya menyukai pantai pasir, tapi kalau yang dewasa lebih enak ke yang ada batu karangnya. Selain pemandangannya indah untuk berfoto, airnya juga lebh jernih. Kedalaman pantai yang cukup landai membuat kita tidak perlu takut untuk berenang atau bermain air namun kewaspadaan tetap haruslah diutamakan. Kalau kita kesana, bisa kok mencoba wahana olahraga air yang tersedia di sana seperti banana boat dan speed boat. tapi jangan lupa bayar ya.

Pantai Melayu

Berkunjung ke Batam tidak lengkap tanpa mengunjungi pantai.Pantai merupakan wisata andalan Kota Batam,dan kebanyakan pantai pantai di batam ini kini sudah dikelola dengan sangat baik.Mulai dari akses menuju kesana, sarana bilas dan kebersihan lainnya. Salah satu pantai yang sering menjadi tujuan para turis adalah Pantai Melayu.Dan seingat saya pantai yang saya kunjungi pertama kali di batam juga adalah pantai Melayu. Pantai Melayu yang ada di Batam sebenarnya ada 2, yaitu Pantai Melayu yang ada di daerah Nongsa, dan Pantai Melayu di daerah Rempang. Namun biasanya jika orang menyebut Pantai Melayu, perhatian orang akan tertuju pada pantai yang berada di pulau Rempang.Tak banyak foto kenangan yang tersisa kini, semua dikarenakan rusaknya komputer yang dulu kugunakan sebagai tempat penyimpanan data. Hanya ini yang tersisa.

Batalyon Infanteri 10 Marinir Satia Bhumi Yudha, Pulau Setokok

Penguatan pertahanan di wilayah perbatasan kembali ditingkatkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meresmikan pembentukan dua markas tempur terbaru, yakni Batalion Infanteri (Yonif) 10 Marinir/Satia Bhumi Yudha di Pulau Setokok, Batam, Kepulauan Riau dan Skuadron Udara 16/ Vijayakantaka Abhyasti Virayate di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekan Baru, Riau. Peresmian Batalion Infanteri dan Skuadron Udara tersebut ditandai dengan penandatanganan prasasti di Akademi Militer, Magelang, Jumat (17/10/2014). Pembentukan dua kekuatan baru ini sebagai respon atas perkembangan lingkungan strategis yang dinamis dan multidimensional, khususnya dalam mengamankan wilayah perbatasan. Presiden mengaku menyambut baik hadirnya kekuatan baru TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara tersebut. Menurut dia, di era modern, kekuatan angkatan udara harus semakin tanggung dan modern untuk bisa menjaga wilayah udara nasional. Sedangkan, keberadaan Batalion Infanteri Marinir ini akan memperkuat pengamanan wilayah perbatasan, terutama di Kepulauan Riau. Skuadron Udara 16 di Pekanbaru, saat ini juga sudah siap untuk menjadi markas pesawat tempur F-16 C/D 52ID asal Amerika Serikat. Beberapa persiapan terus dilakukan sehingga skuadron ini sempurna sebagai home base pesawat tersebut. Adapun untuk pesawatnya sendiri, sekarang ini sudah ada lima unit dari 24 unit yang dipesan. Sementara itu, menurut Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Marsetio, Batalion Infanteri 10 Marinir ini dibangun TNI AL sebagai salah satu upaya meningkatkan keamanan d kawasan terdepan Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara kawasan ASEAN. Pembangunan ini merupakan program prioritas TNI AL sebagai tindak lanjut atas perintah Presiden SBY untuk membangun dan membentuk Satuan Marinir baru di Kepulauan Riau. Peletakan batu pertama pembangunan markas batalion tersebut telah dilakukan 5 Juni 2013 silam. Batalion Infanteri 10 Marinir yang menempati lokasi seluas 37 hektare ini merupakan salah satu lokasi strategis untuk pertahanan keamanan di wilayah perbatasan. “Karakteristik wilayah Kepulauan Riau pada umumnya terdiri dari banyak pulau dan berbatasan dengan beberapa negara tetangga, sehingga sangat strategis untuk dibangun satuan markas pengamanan untuk pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” katanya dalam siaran pers kepada Sindonews, Jumat (17/10/2014). Fasilitas yang dibangun pada markas meliputi pembangunan gedung batalyon, gedung kompi markas, gedung kompi senapan, gudang senjata, rumah dinas, mess perwira, garasi angkutan, dermaga, lapangan tembak, dan helipad. Batalion Infanteri 10 Marinir di Pulau Setokok ini diperkuat dengan satuan-satuan kecil dengan keahlian khusus atau pasukan khusus. source: http://nasional.sindonews.com/read/912620/14/sby-resmikan-markas-f-16-terbaru-dan-yonif-10-marinir-1413553307 Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio menyatakan Markas Batalyon Infanteri 10 Marinir di Pulau Setokok, Kota Batam, Kepulauan Riau, akan beroperasi dalam waktu dekat. Menurutnya, saat ini TNI AL sudah menempatkan satu kompi dari 700 prajurit Infanteri Marinir yang akan bermarkas di sana. "Batalyon sudah mulai kita isi, sekarang sudah ada satu kompi, kemudian juga peralatan kita mulai lengkapi," ujarnya usai meresmikan Masjid Al Barkah di dalam areal lahan markas, Kamis (17/7/2014). Kasal menjelaskan, pembangunan Batalyon-10 Marinir di Kota Batam merupakan perintah langsung Presiden Susilo Bambang Ydhoyono untuk membantu aparat terkait dalam pengamanan Selat Malaka yang berbatasan langsung dengan Singapura. "Sebagaimana kita ketahui, di area Selat Malaka sangat rawan kegiatan-kegiatan apakah itu sea robbery, sea piracy, sehingga perlu dibentuk batalyon khusus yang bisa mengawal terutama keamanan laut di sepanjang pantai yang ada Kepri ini," paparnya. Menurut Kepala Dinas Penerangan Korps Marinir Letkol (Mar) Suwandi, Batalyon-10 Marinir di Batam dibangun di atas tanah seluas 37 hektare yang secara fisik saat ini sudah selesai 100%. Terdiri dari markas batalyon dan empat markas kompi serta memiliki fasilitas lapangan tembak, 16 rumah dinas, sebuah mess perwira dan dua mes bintara. Selanjutnya, akan dibangun juga hellypad dan lapangan sepakbola serta sarana olahraga lainnya. "Letkol Marinir Kresno Pratowo dipercaya oleh Komandan Korps Marinir Mayjen TNI (Mar) A.Fariz Washington sebagai pejabat Komandan Batalyon Yonif-10 Mar yang pertama," katanya dalam pernyataan tertulis. Kasal mengungkapkan, Batalyon Infanteri 10 ini adalah batalyon yang memiliki kemampuan spesifik, yaitu Maritime Integration Operation. Karena itu, lanjut Marsetio, prajurit yang menjadi komandan batalyon di markas itu adalah seorang perwira Marinir yang pernah menjadi Komandan Batalyon di pasukan khusus, apakah Denjaka atau Taifib. Pejabat Komandan Batalyon Yonif-10 Mar, Letkol Marinir Kresno Pratowo sendiri pernah bertugas di satuan elit TNI AL, Detasemen Jala Mangkara (Denjaka). "Karena dia kemampuannya (Yoni-10 Mar) berbeda dengan batalyon-batalyon infanteri lainnya," kata Kasal. Namun demikian, Laksamana Marsetio tidak mau menyebutkan jadwal pasti peresmian pengoperasian Markas Yonif-10 Mar di Batam tersebut. Dia juga membantah bahwa belum jelasnya jadwal peresmian Markas Yonif-10 Mar di Batam itu akibat isu penolakan Pemerintah Singapura. "Enggak ada, ini kan wilayah kita," ujarnya. Dia hanya mengatakan bahwa peresmian rencananya akan dilakukan oleh presiden tetapi masih menunggu waktu yang tepat. Source : http://batam.bisnis.com/m/read/20140717/7/45046/markas-batalyon-infanteri-10-marinir-di-batam-segera-beroperasi

Pantai Dendang Melayu

Jangan terkecoh dengan namanya, namanya memang pantai dendang melayu namun itu bukanlah seperti pantai pada umumnya berpasir putih diterpa ombak laut.Melainkan sebuah lahan terbuka yang dipersiapkan pemerintah kota batam untuk memarkir kendaraan dan rehat sejenak menikmati pemandangan eksotis jembatan 1. Sekaligus berpose ria dengan background jembatan 1. Karena pemerintah kota batam melarang kendaraan yang melintas parkir di pinggir jalan. Selain menyebabkan kemacetan dikhawatirkan jembatan tak mampu menampung sekian banyaknya orang dan kendaraan yang berhenti di situ. Di dendang melayu kita kan dipungut biaya pekir Rp 5000 untuk setiap motor dan Rp 10.000 untuk mobil. Agak keberatan memang tapi gimana lagi, apalagi karcir parkirnya itu terkesan asal asalan. Ada yang fotokopy-an,dengan gambar dan nominal yang ditimpa timpa, pokoknya gak enak ditengoknya, tapi ya biarlah anggap saja kita sedekah toh gak tiap hari kita kesana.