Senin, 01 Juni 2015

Kampung Vietnam

Perang Vietnam yang berlangsung tahun 1955-1975 membawa banyak korban berjatuhan dan pengungsi dengan jumlah yang tidak sedikit. Banyak dari mereka yang mengungsi ke Pulau Galang di Kepulauan Riau. Berikut kisahnya. Ketika masih di Sekolah, saya banyak mendengar dan belajar sejarah tentang ratusan ribu pengungsi Vietnam Selatan yang melarikan diri meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi ke negara lain pasca perang di Vietnam. Saat peristiwa itu terjadi, banyak pengungsi meninggalkan negaranya dengan perahu-perahu dengan kondisi memprihatinkan. Satu perahu bisa diisi 40-100 orang. Berbulan-bulan para pengungsi ini terombang-ambing di tengah perairan Laut China Selatan, tanpa tujuan yang jelas. Sebagian dari mereka ada yang meninggal di tengah lautan, ada yang terdampar di pulau karang tanpa bahan makanan, dan ada sebagian lagi dapat mencapai daratan, termasuk wilayah Indonesia, seperti Pulau Galang, Tanjung Pinang, Kepulauan Natuna dan pulau-pulau di kepulauan Riau. Karena banyak cerita mengenai para pengungsi ini, bahkan ada yang difilmkan, bagaimana penderitaan para pengungsi itu untuk bertahan hidup selama pengungsian, bahkan di tempat penampungan. Maka sayapun terdorong ingin mengunjungi pulau Galang, di Provinsi Kepulaun Riau, di mana terdapat tempat penampungan sementara bagi para pengungsi tersebut. UNHCR dan Pemerintah Indonesia membangun berbagai fasilitas di sana, seperti barak pengungsian, tempat ibadah, rumah sakit, dan sekolah, bahkan penjara, yang digunakan untuk memfasilitasi sekitar 250.000 pengungsi. Para pengungsi ini dikonsentrasikan di satu permukiman seluas 80 hektar dan tertutup interaksinya dengan penduduk setempat. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan dan penjagaan keamanan. Juga untuk menghindari penyebaran penyakit kelamin yang menjangkiti para pengungsi Vietnam, yang dikenal dengan Vietnam Rose. Di tempat ini, para pengungsi meneruskan hidupnya sepanjang tahun 1979-1996, hingga akhirnya mereka mendapat suaka dari negara-negara maju yang mau menerima mereka ataupun dipulangkan ke Vietnam. Ketika saya dan teman saya sampai di bandara Hang Nadim, Batam, kami menyewa taksi untuk meneruskan perjalanan menuju Pulau Galang. Jarak Pulau Galang dari kota Batam sekitar 50 km yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam. Dalam perjalanan menuju pulau Galang, kami melewati jembatan Barelang, jembatan penghubung pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau Galang. Jembatan megah ini diprakarsai oleh BJ. Habibie. Sesampai kami di sana, suasana sepi menyambut kami, dengan bangunan-bangunan yang sudah tidak terawat lagi. Setelah kami melewati pintu gerbang, kemudian menyusuri jalan aspal dengan kanan kiri terdapat tanda pengenal jalan dan nama tempat, dan kami pun sampai di sebuah taman yang terdapat sebuah patung, Patung Taman Humanity atau Patung Kemanusiaan. Ada pun cerita mengenai patung ini menggambarkan sosok wanita yang bernama Tinhn Han Loai yang diperkosa oleh sesama pengungsi. Karena malu menanggung beban diperkosa, akhirnya ia memutuskan bunuh diri. Dalam rangka mengenang peristiwa tragis itulah maka patung ini dibuat oleh para pengungsi. Melanjutkan perjalanan, tidak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat areal pemakaman yang bernama Ngha Trang Grave. Di sini, dimakamkan 503 pengungsi Vietnam yang meninggal karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu, depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah. Suasana yang sepi di areal pemakaman cukup membuat bergidik juga, untung saya tidak sendirian. Setelah melewati areal pemakaman, kami sampai di Monumen Perahu yang terdiri atas tiga perahu yang digunakan para pengungsi ketika meninggalkan Vietnam. Dengan perahu seperti itulah mereka berbulan-bulan mengarungi lautan hingga sampai di pulau Galang ataupun pulau-pulau lainnya di sekitar Kepulauan Riau. Ada pun perahu-perahu ini adalah perahu-perahu yang diangkat ke daratan dan direnovasi, ada juga perahu-perahu itu yang sengaja ditenggelamkan dan bahkan ada yang dibakar oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas kebijakan UNHCR dan Pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi, karena mereka tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan, atau suaka dari negara negara lain seperti Australia, Perancis, Amerika Serikat dan negara lainnya. Setelah dari monumen perahu, kami melanjutkan perjalanan melewati bangunan-bangunan bekas tempat tinggal yang masih tersisa di tempat pengungsian ini. Rasa sedih memenuhi ketika melihat peninggalan yang bersejarah ini, kini tidak begitu terawat, banyak semak belukar, bahkan banyak bangunan yang sudah rusak. Saya membayangkan pada masa itu, tempat ini ramai dengan pengungsi, bagaikan sebuah kampung kecil. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kehidupan para pengungsi di kamp ini kita dapat mengunjungi museum yang masih menyimpan berbagai peralatan sehari-hari, foto-foto para pengungsi dan juga foto-foto kegiatan yang mereka lakukan. Selain itu, berbagai tempat ibadah yang dulu dibangun untuk memfasilitasi pengungsi, juga masih ada hingga kini. Seperti, Vihara Quan Am Tu, Gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja protestan, dan juga mushola. Tempat-tempat ibadah ini pun tidak jauh berbeda kondisinya dengan bangunan lain yang sudah tidak terawat dan rusak. Hanya Vihara Quan Am TU yang masih terlihat terawat dan masih digunakan. Vihara Quan Am TU merupakan salah satu tempat ibadah yang paling mencolok di area itu. Cat bangunan yang berwarna-warni membuat pengunjung dapat mengenalinya dari kejauhan. Ketika akan masuk ke areal Gereja Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, kita membaca sebuah papan nama gereja serta terdapat juga tulisan 'Galang, Memory of a tragedy past', suatu pesan yang dalam dari tragedi kemanusiaan akibat perang. Sebuah renungan kepedihan betapa akibat dari perang adalah penderitaan bagi sebagian besar rakyat yang menjadi korban, keluarga-keluarga terpisah, anak-anak yang harus di adopsi oleh keluarga dari negara lain. Bahkan beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah email dari seorang wanita Vietnam yang tinggal di Amerika, yang menanyakan alamat dan bagaimana cara menuju ke tempat pengungsian di Pulau Galang. Dia ingin berziarah mengunjungi tempat di mana dia pernah tinggal ketika masih kecil, sebelum akhirnya diadopsi oleh keluarga dari Amerika. http://travel.detik.com/read/2015/01/25/123000/2794553/1025/kisah-sedih-kamp-pengungsi-vietnam-yang-terbengkalai-di-pulau-galang Kampung Vietnam seluas 80 hektar di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, sejatinya bukan hanya bekas lokasi penampungan ribuan pengungsi asal Vietnam selama lebih kurang 16 tahun pada 1979-1995. Keberadaannya beserta berbagai peninggalannya layak dicatat sebagai monumen kemanusiaan bangsa Indonesia. Frans Sarong Kisahnya berawal dari pergolakan politik yang melanda Vietnam tahun 1970-an. Pergolakan kian memanas sehingga pecah perang saudara antara kelompok masyarakat bagian selatan dan kelompok masyarakat bagian utara negara itu. Karena kondisi semakin tidak menentu dan kian mencekam, ribuan warga bagian selatan Vietnam lalu memilih meninggalkan negerinya. Dengan hanya menggunakan kapal kayu, mereka yang juga disebut sebagai manusia perahu pergi mencari kedamaian atau suaka politik ke sejumlah negara di sekitarnya, termasuk Indonesia. Khusus perjuangan mencari kedamaian hingga ke Indonesia, mereka nekat mengarungi Laut Tiongkok Selatan yang dikenal ganas. Setelah melewati pelayaran selama berbulan-bulan, perahu pertama berpenumpang 75 pengungsi akhirnya tiba di Indonesia, persisnya di Natuna, Kepulauan Riau, 22 Mei 1975. "Kehadiran pengungsi asal Vietnam di Natuna sekitar 40 tahun lalu itu serentak menjadi pemberitaan meluas. Bahkan, Presiden Soeharto melalui menterinya ketika itu langsung memerintahkan instansi terkait memberikan perhatian berupa bantuan kemanusiaan sepantasnya bagi para pengungsi," tutur Zaid Adnan, Kepala Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang, di Kampung Vietnam, Minggu (8/2). Pemberitaan itu ternyata menjadi panduan bagi ribuan pengungsi lain mengikuti jejak pendahulunya ke Natuna. Karena jumlah pengungsi terus bertambah, sementara pengamanan semakin menjadi beban tidak ringan lantaran daya tampung kian terbatas, Presiden Soeharto ketika itu mulai mempertimbangkan untuk memindahkan para pengungsi ke daerah aman, yakni kawasan yang benar-benar tertutup dari kemungkinan berinteraksi dengan warga lokal. Setelah mendiskusikannya dengan Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), dicapai kesepakatan memindahkan para pengungsi ke Pulau Galang, tepatnya di Desa Cijantung, tahun 1979. Setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto, UNHCR lalu membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan pengungsi. "Dana seluruhnya dari UNHCR, pengerjaan pembangunannya melibatkan pengusaha lokal," ungkap H Syukur, anggota staf Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang. Keberadaan kawasan penampungan itu justru membuat pengungsi manusia perahu dari Vietnam terus berdatangan. "Jumlah puncaknya sempat mencapai 250.000 jiwa. Mereka semua ditempatkan dalam kawasan kamp secara terisolasi atau sama sekali tertutup kemungkinan berhubungan dengan masyarakat luar di sekitarnya," kata Zaid. Dalam perjalanannya, para pengungsi perlahan diberangkatkan ke sejumlah negara lain yang merelakan fasilitas suaka politik melalui PBB. Sebagian lain belakangan dipulangkan ke Vietnam menyusul kondisi negara asal mereka yang berangsur pulih. Menurut catatan Zaid, pemulangan terakhir ke Vietnam terjadi tahun 1995, meliputi 4.750 pengungsi. "Suasana kepulangan para pengungsi terakhir itu tanpa rasa ragu karena langsung dijemput oleh sejumlah pejabat dari Vietnam," ujarnya. Jejak tertinggal Walaupun nama Kampung Vietnam tetap melekat, di lokasi yang kini menjadi kawasan hening, hijau, dan terjaga itu sesungguhnya tidak ada lagi pengungsi yang tersisa. Jejak yang tertinggal di antaranya lokasi pekuburan berisi 563 makam serta bangunan rumah ibadah, seperti mushala, wihara, dan gereja (Katolik dan Kristen Protestan). Selain itu, ada sejumlah bangunan yang tidak lagi terawat, yakni bekas kamp bagi para pengungsi untuk berteduh. Ada pula bangunan bernama Humanity Statue, yakni monumen kemanusiaan berupa patung perempuan dalam keadaan tak berdaya. Konon monumen itu khusus untuk mengenang tragedi yang menimpa seorang perempuan pengungsi bernama Tinh Han Loai. Ia memilih bunuh diri karena tak kuat menanggung malu setelah diperkosa sejumlah pria sesama pengungsi. Setelah Kampung Vietnam tidak lagi menyisakan warga pengungsi, PBB melalui UNHCR mengembalikan kawasan itu kepada Pemerintah Indonesia. Selanjutnya, Badan Otorita Batam membenahi kawasan itu, antara lain melengkapinya dengan museum khusus tersebut. Di sekitarnya juga terpajang dua perahu sebagai monumen khusus untuk mengenang perjuangan para pengungsi mengarungi lautan demi kedamaian hingga ke Indonesia. Kini, Kampung Vietnam-sekitar 60 kilometer dari Batam-dipasarkan sebagai obyek wisata sejarah andalan Batam, bahkan Kepulauan Riau. Khusus pada hari raya atau hari libur, pengunjungnya bisa mencapai 4.000 orang hingga 5.000 orang. Tidak sedikit dari para wisatawan itu eks pengungsi atau keluarganya yang kini sudah berhasil dan menyebar di sejumlah negara. Kunjungan mereka terutama ke lokasi pemakaman. Rusli (38), pengunjung asal Jakarta, melukiskan, belum ke Batam jika tidak menyempatkan diri berkunjung ke Kampung Vietnam. "Obyek wisata ini layak dijaga kelestariannya karena merupakan jejak sejarah kemanusiaan Indonesia," ujar Rusli ketika bersama keluarganya menjelajahi kawasan Kampung Vietnam. Rusli dan Zaid benar, bekas kamp pengungsi itu merupakan monumen kemanusiaan bangsa Indonesia! http://print.kompas.com/baca/2015/02/28-(1)/Kampung-Vietnam%2c-Monumen-Kemanusiaan-Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar